Direktur Utama Bank Swadesi, yang beralamat di Jl. Samanhudi
No. 37 Jakarta, Ningsih Suciati, dan para pejabat bank ini ditetapkan
sebagai tersangka oleh Polda Bali karena diduga terlibat tindak pidana
perbankan sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 49 UU No. 7 Tahun 1992
tentang Perbankan yang telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998.
“Bahkan
surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) kepada Kepala
Kejaksaan Tinggi Bali sudah dikeluarkan Polda Bali tanggal 15 Desember
2011 lalu, surat ini ditandatangani oleh Direktur Reskrim Polda Bali
Kombes Slamet Riyanto,” kata Jacob Antolis, S.H., penasihat hukum Rita
Kishore Kumar Pridhnani (pelapor) kepada wartawan di Denpasar, Rabu
(28/12) malam.
Rita adalah pemegang sertifikat hak milik (SHM) No.
7442/Kelurahan Kuta atas sebidang tanah seluas 1520m2 berikut bangunan
(villa Kozy) yang terletak di Jl. Kunti No. 9 RK, Seminyak, Kuta Utara.
Rita melaporkan para pejabat bank asing ini dengan laporan polisi no:
LP/233/VI/2011/Bali/Ditreskrim tanggal 25 Juni 2011.
Menurut Jacob
Antolis, mengacu kepada UU Perbankan ini, Ningsih Suciati dkk
ditetapkan sebagai tersangka karena pada intinya diduga dengan sengaja
membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau
dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan
transaksi atau rekening suatu bank
Asisten Pidana Umum Kejaksaan
Tinggi Bali, Acep Sudarman, dikonfirmasi pertelepon Rabu malam soal SPDP
atas tersangka Ningsih Suciati dkk membenarkannya.
“Ya betul kami sudah terima, baru-baru ini,” jawab Acep terburu-buru karena mengaku sedang ada kesibukan.
Kasus
ini bermula pada tahun 2008 ketika pelapor Rita Kishore Kumar Pridhnani
selaku penjamin atas fasilitas kredit debitur atas nama PT Ratu
Kharisma meminjam uang pada Bank Swadesi Denpasar dengan total plafond
senilai Rp 10,5 M untuk perluasan usaha dengan jaminan tanah dan
bangunan tersebut.
Awalnya pelapor melaksanakan kewajiban membayar
hutang lancar-lancar saja namun belakangan mulai ada sedikit masalah
sehingga pemenuhan kewajiban tertunda.
“Sesuai ketentuan Bank
Indonesia, Bank Swadesi harus melakukan supervisi, pembinaan, pengawasan
terhadap fasilitas kredit yang dicairkan agar fasilitas kredit dalam
posisi aman dan lancar, dan apabila adanya keadaan luar biasa sehingga
fasilitas kredit bermasalah maka seyogyanya pihak bank Swadesi melakukan
langkah-langkah sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI)
sebagai pembinaan dan mencari solusi jalan keluar agar nasabah seperti
ini dapat kembali memenuhi kewajiban sebagai mana mestinya,” paparJacob
Antolis
Ia menjelaskan, PBI sudah memberikan pedoman bahwa
apabila ada kredit bermasalah dapat dilakukan proses restrukturisasi
kredit, reconditioning, dan resecheduling, dengan syarat bahwa obyek
atau perusahaan yang dibiayai masih mempunyai prospek usaha yang baik.
“Tapi
ini tidak dilakukan Bank Swadesi, justru klien saya langsung divonis
pailit (dalam keadan tidak mampu) sehingga barang jaminannya dilakukan
eksekusi lelang dengan nilai limit lelang jauh dibawah harga pasar yang
wajar maupun berdasarkan penilaian independen,” tegas Jacob.
Meski
berbagai upaya hukum sudah dilakukan, Bank Swadesi ngotot mengajukan
permohonan lelang ke KPKNL Denpasar melalui perusahaan jasa pra lelang
PT Duta Balai Lelang. Anehnya, berdasarkan pengumuman lelang oleh Bank
Swadesi, nilai limit lelang atas obyek tersebut berubah-ubah. Pada
pengumuman tanggal 3 Februari 2011 untuk proses lelang eksekusi pertama,
nilai limit lelang ditetapkan Rp 11,5 M.
Pengumuman tanggal 28
April 2010, untuk proses lelang eksekusi kedua ditetapkan nilai limitnya
Rp 9 M. Untuk proses lelang ketiga dalam pengumuman tanggal 22
September 2010 nilai limitnya diturunkan lagi menjadi Rp 7 M. Lalu
diturunkan lagi untuk proses lelang keempat dan kelima menjadi Rp 6,3 M
pada pengumuman tanggal 18 Oktober 2010 dan 11 Februari 2011.
“Perubahan nilai lelang ini tidak disebutkan apa yang mendasari atau alasan yang dapat dipertanggungjawabkan,” tuding Jacob.
Menurut
pengacara dari Kantor Hukum Adhi Sogata ini, perubahan nilai limit
lelang eksekusi tersebut tidak berdasarkan pada ketentuan pasal 36 ayat
1, 2 dan 3 jo pasal 38 Peraturan Menteri Keuangan RI No. 93/PMK.06/2010
dan pasal 1 ayat 1, pasa 10, pasal 11, pasal 14, dan pasal 18 UU No. 4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.
Tentu saja pelapor tetap
keberatan. Selain karena proses awalnya diduga menyalahi aturan, juga
karena nilai limit lelang dibawah harga pasar yang wajar dan penilaian
independen.
Malah melalui surat kabar, pelapor memasang pengumuman
kepada siapapun agar tidak membeli villa Kozy karena sedang
bersengketa. Hal ini juga diperkuat KPKNL Denpasar melalui suratnya No.
S-1278/WKN.14/KNL.01/2010 tertanggal 01 Juni 2010 menjawab surat
permohonan Bank Swadesi perihal penetapan hari dan tanggal lelang
lanjutan ketiga.
Pada intinya KPKNL menegaskan bahwa obyek lelang
sedang dalam perkara di Pengadilan Negeri Denpasar sesuai register
perkara No. 211/Pdt.G/2010/PN.Dps tanggal 22 April 2010 dan kuasa hukum
penggugat mengajukan gugatan kembali ke Pengadilan Negeri Denpasar
dengan perkara No. 260/Pdt.G/2010/PN.Dps tertanggal 21 Mei 2011 terhadap
obyek lelang dimaksud tidak dapat dilaksanakan lelangnya dengan
mengunakan pasal 6 UUHT.
KPKNL Denpasar menegaskan belum dapat
menetapkan hari dan tanggal lelang karena sesuai ketentuan yang berlaku
bahwa apabila terdapat gugatan dari debitur/pihak ketiga maka penjualan
obyek tangungan dilakukan secara lelang dan memerlukan fiat eksekusi
dari pengadilan sesuai pasal 14 ayat 2 UUHT. Begitu juga perdebatan
sengit selama proses lelang, toh tak menyurutkan tekad Bank
Swadesi-sebuah bank asing karena 76 % sahamnya dikuasai Bank of India-
meneruskan lelang dan Sugiarto Raharjo terus maju sebagai peserta
lelang.
Akhirnya Sugiarto Raharjo dinyatakan sebagai pemenang lelang dengan nilai Rp 6.386.000.000.
Siapakah
Sugiarto Raharjo? Informasi yang diperoleh koran ini menyebutkan dia
adalah adik kandung Ningsih Suciati, Direktur Utama Bank Swadesi pusat
yang bersama bawahannya menjadi tersangka dalam kasus ini.
Setelah
memenangkan lelang, Sugiarto Raharjo kemudian merubah SHM tanah
tersebut menjadi atas nama miliknya, meski BPN pusat telah mengeluarkan
penegasan kepada BPN Badung agar tidak ‘mengutak atik’ SHM atas nama
Rita Kishore Kumar Pridhnani karena sedang bersengketa-atas permohonan
Jacob Antolis.
Lalu berbekal kutipan risalah lelang No. 059/2011
tertanggal 11 Februari 2011, Sugiarto Raharjo mengajukan permohonan
eksekusi rill sehingga keluarlah penetapan Ketua Pengadilan Negeri
Denpasar No. 07/Pdt.Eks/Riil/2011/PN.Dps tertanggal 28 Juli 2011.
Menanggapi
surat ini, Jacob Antolis dalam suratnya No. 002/JC/EKS/VIII/2011 kepada
Ketua Pengadilan Negeri Denpasar memohon penundaan eksekusi rill karena
berbagai kejanggalan seperti diuraikan di atas.
“Kami mohon agar
eksekusi rill ditunda dulu sampai proses hukum baik secara perdata,
pidana maupun perlawanan eksekusi mendapat keputusan hukum yang
berkekuatan hukum tetap,” ujar Jacob. [mor]
sumber : http://sindikasi.inilah.com/read/detail/1813079/dirut-bank-swadesi-tersangka