Para pekerja di Myanmar akan diizinkan membentuk serikat buruh dan
melakukan pemogokan untuk pertama kali dalam puluhan tahun, kata para
pejabat, Jumat (14/10/2011).
Undang-undang itu ditandatangani
Presiden Thein Sein, Selasa (11/10/2011), kata sumber-sumber pemerintah,
dan untuk menggantikan Undang-Undang Serikat Buruh Tahun 1962 yang
represif dalam tanda terbaru reformasi sementara oleh rezim yang
otoriter itu.
"Para buruh akan memiliki hak membentuk serikat
buruh dan melakukan mogok sesuai dengan undang-undang itu," kata seorang
pejabat pemerintah yang tidak bersedia namanya disebutkan kepada AFP.
Undang-undang
itu menetapkan bahwa para buruh, dengan kecuali personel militer dan
polisi, bisa mendirikaan serikat buruh dengan minimum 30 anggota serta
menggunakan nama dan logo sendiri.
Para majikan harus diberi tahu
14 hari sebelum aksi itu dan serikat-serikat buruh harus terlebih dulu
memberi tahu beberapa orang yang akan ikut serta dalam pemogokan itu,
katanya.
Instansi-instansi pelayanan pokok publik, seperti
pemeliharaan kesehatan, pemadam kebakaran, telekomunikasi, serta pemasok
air dan listrik, tidak mendapat hak untuk mogok.
"Kendatipun kami
tidak dapat mengatakan bahwa segala hal tentang undang-undang
perburuhan yang baru itu adalah baik, kami harus menyambutnya," kata
Nyan Win, seorang pengacara dan juru bicara pemimpin Liga Nasional
untuk Demokrasi (NLD) Aung San Suu Kyi, kepada AFP.
Organisasi
Buruh Internasional (ILO) juga menyambut baik tindakan baru itu.
Kendati demikian, Steve Marshall, pejabat penghubung ILO di Myanmar,
menanggapinya dengan hati-hati, dan mengatakan belum membaca isi
undang-undang itu.
"Namun, pada prinsipnya tidak ada masalah bahwa undang-undang itu adalah satu langkah besar bagi Pemerintah Myanmar," katanya.
Marshall
menambahkan bahwa satu negara yang aktivis buruhnya sering dipenjarakan
akan merasakan dampak dari undang-undang itu. "Itu adalah satu
pendekatan baru dan satu budaya baru," katanya.
Undang-undang
perburuhan itu adalah bukti terbaru adanya perubahan sementara yang
terjadi di Myanmar, sementara pemerintah sipil yang baru berusaha
menunjukkan mereka serius bagi reformasi setelah puluhan tahun
penindasan.
Awal pekan ini, rezim itu memberikan amnesti kepada
sekitar 200 tahanan politik kendatipun para pengkritik mengatakan,
tindakan itu belum mencukupi karena sebagian besar dari sekitar 2.000
tahanan politik masih tetap mendekam di penjara-penjara.
Sumber : ANT, AFP / kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar